Selasa, 11 April 2017

RETORIKA

RETORIKA BAHASA
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Komposisi Bahasa Indonesia

          Dosen Pembimbing : Dr. Darsita Suparno, M.Hum









Disusun Oleh :
Fib Bawan Arif Topan            (1113024000021)
M. Alfiansyah                         (1113024000001)
Musdalifah                              (1113024000025)


Program Studi Tarjamah
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2014


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Retorika merupakan peranan penting dalam kehidupan, karena retorika merupakan suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik. Retorika perlu dipelajari karena retorika merupakan pengetahuan mengenai bahasa dengan baik dan pengetahuan mengenai obyek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa yang baik. Oleh karena itu, retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin menggunakan bahasa dengan cara sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu yang diinginkan.

B.      Rumusan Masalah
a.      Apa yang dimaksud dengan pengertian retorika?
b.      Bagaimana perkembangan sejarah retorika?
c.       Apa saja metode retorika?
d.      Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa langsung tidaknya makna?
e.      Apa saja macam-macam gaya bahasa retoris?

C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulis menulis makalah ini yakni untuk menjelaskan kepada pembaca khususnya mahasiswa mengenai retorika. Dan tak hanya itu penulis makalah ini dengan tujuan untuk menuntaskan tugas demi meningkatkan nilai tugas perkuliahan bagi penulis.






BAB II
PEMBAHASAN
A.     Pengertian Retorika
Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik  pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik. Jadi ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, kedua pengetahuan mengenai obyek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi.
Oleh karena itu, retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin menggunakan bahasa dengan cara yang sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu tadi. Timbullah pusat-pusat pendidikan yang berusaha mengembangkan prinsip-prinsip retorika, disamping usaha untuk mengajarkan dan mempraktekkan prinsip-prinsip tadi.
Studi mengenai retorika inilah yang akhirnya memengaruhi perkembangan eropa dari zaman kuno hingga abad XVII Masehi. Sesedag abad XVII, retorika tidak dianggap pentinga lagi. Pada abad XX, retorika kembali mengambil tempa diantara bidang-bidang lainnya, sebagai suatu cara untuk menyajikan berbagai macam bidang pengetahuan dalam bahasa yang baik dan efektif.
Seama 25 abad perkembangan retorika, yaitu sejak diperkenalkan pada abad 5 sebelum Masehi sampai sekarang, pengertian retorika itu juga mengalami perkembangan. Retorika, dalam pengertian dewasa ini boleh dikatakan mencakup semua pengertian yang telah ada, yaitu:
a)      prinsip-prinsip mengenai komposisi pidato yang persuasif dan efektif  maupun keterampilan yang harus dimiliki seorang orator (ahli pidato);
b)      Prinsip-prinsip mengenai prosa pada umumnya baik yang dimaksudkan untuk penyajian lisan  maupun tertulis, bersifat fiktif atau yang bersifat ilmiah;
c)      Kumpulan ajaran teoritis mengenai seni komposisi verbal baik prosa maupun puisi serta upaya yang digunakan dalam kedua jenis komposisi verbal;

Retorika berusaha mempengaruhi sehingga menggunakan unsur-unsur dalam kaidah keefektifan dan keindahan gaya bahasa, misalnya ketepatan pengungkapan, keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang serasi, penampilan yang sesuai situasi dan sebagainya.
Melihat perkembangan dan pergeseran tekanan dan makna retorika, maka dapat dikatakan retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada pengetahuan yang tersusun secara baik. Retorika mempunyai tujuan menjelaskan kaidah yang menjadi landasan dari tulisan prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk memengaruhi sikap dan perasaan orang.
B.      Jaman Yunani
Retorika tumbuh dan berkembang di Yunani pada abad V dan IV sebelum Masehi. Menurut pengertiannya yang asli, retorika adalah telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni pidato.
Oratoria pertama kali diperkenalkan oleh orang Yunani Sicillia. Namun tokoh pendirinya adalah Corax dari Sirakusa (500 SM) yang telah meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu :
1.      Proem atau Pengantar dari pidato yang akan disampaikan.
2.      Diegesis atau Narratio: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan dikemukakan.
3.      Agon atau Argumen: bagian yang mengandung bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan itu.
4.      Parekbasis atau Digressio: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi.
5.      Peroratio: bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Pada permulaan perkembangan retorika timbul perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal yang menyangkut retorika. Kontroversi tersebut menyangkut tiga hal, yaitu :
1.             Persoalan apakah perlu pemakaian unsur stilistika dalam pidato-pidato. Ada tiga aliran, yaitu yang menyetujui penggunaan unsur stilistika, yang menolak, dan ada yang berada di luar kedua aliran pertama.
2.             Relasi antara retorika dan moral, apakah perlu adanyaa moral dalam pidato. Georgiasn berpendirian bahwa orator harus menyampaikan bukti-bukti baik mengenai keadilan dan ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa retorika alat yang mubazir(amoral). Pendirian ini dikecam oleh lawan-lawannya yang beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang esensi, karena kebenaran dan keadilan memberi kemungkinan yang paling baik bagi persuasi. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh Aristoteles. Pandangan ini memberi sumbangan besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah bahwa kemahiran seorang orator memberi perimbangan yang berlawanan dengan persuasi, sehingga pengaruh Georgias tetap bertahan hingga jamam Renaissance.
3.             Masalah pendidikan. Masalah kedua mempunyai kaitan dengan masalah ketiga ini. Para ahli retorika yang menerima tanggung jawab moral dalam retorika, mengkritik rekan-rekan mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka, terutama dalam pengadilan. Akhirnya mereka juga tidak mencapai kesepakatan mengenai topik mana saya yang harus dimasukkan dalam pelajaran retorika di pusat-pusat pendidikan.
Karya yang terkenal dari jaman Zunani kuno ini adalah karya Aristoteles yang berjudul Rhetorica. Dalam karya ini Aristoteles mengumumkan bahwa logika formal adalah dasar yang tepat bagi pidato yang jujur dan efektif baik dalam dewan legislatif maupun di pengadilan. Dalam buku ini ia membedakan tiga jenis pidato yang didasarkan pada pendengarnya, yaitu:
1.      Pidato yudisial(legal) atau forensik, yaitu pidato mengenai perkara di pengadilan, mengenai apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya adalah hakim atau yuri dalam suatu mahkamah pengadilan.
2.      Pidato deliberatif atau politik(suasoria), yaitu pidato yang berisi nasihat yang disampaikan para penasihat mengenai hal-hal yang patut atau tidak patut dilakukan. Para pendengarnya adalah anggota badan legislatif atau eksekutif
3.      Pidato epideiktik atau demonstratif, yaitu pidato baik untuk pementasan, upacara-upacara ibadah maupun bukan ibadah, biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai hal-hal yang terjadi sekarang.

C.      Jaman Romawi (300 SM – 130 M)
Seorang Yunani Livius Andronicus (248 – 204 SM) yang dibawa ke Roma sebagai budak belian mengajar retorika kepada tuannya, dan sejak itu seni pidato mulai menarik perharian orang-orang Romawi. Ahli-ahli retorika pada jaman ini adalah Appius Cladius Caecus (300 SM), Cato de Censoris, Ser. Sulpicius Galba, Caius Graechus, Marcus Antonius, dan Lucius Licinius Crassus. Walaupun terdapat ahli-ahli retorika Romawi, pengajar-pengajar yang formal adalah orang-orang Yunani.
Dua orang guru retorika Romawi yang terbaik dan terkenal adalah Ciceero dan Quintilianus. Keduanya dididik menurut model Yunani. Cicero menghasilkan tidak kurang dari tiga karya untuk menunjang teorinya, yaitu: De Oratore, Brutus, dan Orator.  M. Tullius Cicero yang hidup antara tahun 106 – 43 sebelum Masehi, mengajarkan seni pidato menurut model Yunani. Dalam bukunya De Oratore dikemukakan prinsip-prinsip orataori yang dibagi atas tiga bagian, yaitu:
1.      Studi yang diperlukan seorang orator
2.      Penggarapan topik pidato
3.      Bentuk dan penyajian sebuah pidato

Karya terakhir yang terkenal pada jaman ini  adalah Institutio Oratio karya M. Fabius Quintilianius (c. 95 AD) yang  masih bertahan mutunya. Quintilianus berusaha keras untuk mengubah selera jaman itu, yang sudah beralih ke langgam Asia, karena perhatian yang khusus dan latihan yang terus-menerus dalam pusat-pusat pendidikan mengenai subyek khayalan – suasoriae(pidato usul, persuasi), dan controversiae(pidato perdebatan). Dialogus de Oratoribus yang dianggap ditulis oleh Taticus adalah protes yang lain mengenai mode-mode baru tersebut.

D.     Metode Retorika Klasik
Banyak hal retorika klasik yang masih dipertahankan pada zaman-zaman berikutnya, maka ada baiknya dibuat suatu rangkuman mengenai metode tersebut.
·                Masalah dalam Retorika
Seni retorika dibagi atas lima bagian:
1.      Inventio dan Heurisis
Penemuan atau penelitian materi-materi dalam contoh argumen-argumen yang harus dicari melalui rasio, moral dan aveksi.
2.      Dispositio atau Taksis
Penyusunan atau pengurutsn materi dalam pidato.
3.      Lexis
Pengungkapan atau penyajian gagasan dalam bahasa yang sesuai.
4.      Memoria
Menghafalkan pidato yaitu latihan untuk mengingat gagasan dalam pidato.
5.      Hypokrisis
Menyajikan pidato secara efektif baik secara vokal maupun gestur.

·                Masalah Pidato
Pidato tersusun atas lima bagian yang dikemukakan oleh:
1.        Proem, bagian pembukaan. Yaitu harus jelas, dan singkat.
2.        Naratio, pernyataan mengenai kasus yang dibicarakan mengandung pernyataan mengenai fakta-fakta awal yang jelas terpercaya, singkat dan menyenangkan.
3.        Argumen, menyajikan fakta atau bukti untuk membuktikan masalah atau kasus yang dibicarakan.
4.        Refutatio, bagian yang menolak fakta yang berlawanan. Pembicara menunjukkan bahwa keberatan-keberatan yang ada bersifat absurd, palsu, atau tidak konsisten.
5.        Epilogos, sebuah kesimpulan atau suatu rangkuman dari apa yang telah dikemukakan dengan suatu emosional pada pendengar.

·         Masalah Pendidikan
Metode-metode yang dipakai dalam retorika
1.      Imitasi, cara untuk melatih membawakan pidato dengan meniru cara yang digunakan oleh orator klasik.
2.      Deklamasi, cara penyampaian pidato yang dipergunakan dalam pelatihan akademis dan tidak bersangkutpaut kehidupan nyata.
3.      Dasar latihan, untuk mengadakan deklamasi dengan baik seorang orator harus mengajukan 3 pertanyaan: (1) Apa yang terjadi?, (2) Apa itu?, (3)Apakah hal itu baik atau buruk?
Contoh: seorang murid mengambil kasus pembunuhan seorang tirab sebagai sebagai deklamasinya maka ia harus menemukan jawaban atas tiga pertanyaannya tersebut, yaitu:
(1)   Apakah peristiwa pembunuhan itu benar-benar terjadi ?
(2)   Bagaimana harus membatasi pengertian peristiwa pembunuhan tersebut?
(3)   Apakah pembunuhan itu harus diberi penghargaan atau dituntut?

Dari sini seorang orator tidak perlu menjawab pertanyaan melalui penelitian fakta dalam suatu topik khayalan, namun seorang orator harus mampu menciptakan hubungan yang masuk akal.


E.      Abad Pertengahan (V - XV)
Retorika pada abad awal pertengahan digolongkan dalam tujuh kesenian liberal. Dari ketujuh bidang tersebut retorika bersama tatabahasa dan logika (dialektika) membentuk satu trivium(tiga serangkai). Mula-mula retorika memegang peranan penting dalam trivium tadi, namun dalam , 700 tahun berikutnya tatabahasa dan logika menjadi lebih penting , sehingga sebelum terbentuknya universitas- universitas, logika mengatasi retorika dalam bidang akademis.
Dalam Abad Pertengahan,  bagian kedua dari lima langkah pidato (yaitu dispositio) dibagi atas enam bagian:
1.      Exordium, yaitu sebuah pembukaan yang jelas, sopan, tetapi singkat.
2.      Narratio, yaitu sebuah pernyataan dari fakta awal yang jelas, dipercaya, singkat, dan menyenangkan.
3.      Propotitio, yaitu penyajian kasus. Jika yang disajikan itu berbentuk isyu, maka disebut partitio.
4.      Confirmatio, yaitu penyajian argumen
5.      Refutatio, yaitu penolakan atas keberatan-keberatan, bahwa keberatan-keberatan tersebut bersifat absurd, palsu, atau tidak konsisten.
6.      Peroratio, yaitu ringkasan atau rangkuman dengan suatu appeal emosional.
Pada akhir abad pertengahan, unsur-unsur bahasa kiasan diterima sebagai hiasan, dan tumbuhlah anggapan bahwa semakin banyak bahasa kiasan dipakai, semakin baik pula style-nya, sehingga timbullah paham baru yang disebut mannerisme, yaitu paham yang sangat terpaut pada style yang aneh, serta mengandalkan akhir kata yang ritmis dan khusus, dan percaya pada etimologi yang lebih memperkaya kata-kata individual, walaupun sering bersifat fantastis.
F.       Jaman Renaissance (XV - XVIII)
Kekaburan yang ditimbulkan oleh tulisan-tulisan mannerisme menimbulkan reaksi yang keras. Reaksi itu lahir dalam wujud “kembali ke retorika klasik” yang bersifat imitatif. Kelahiran kembali ini ditandai pula dengan kelahiran retorika humanis. Retorika humanis menghasilkan pula kamus, buku pegangan mengenai ungkapan, dan eksempla. (adages= peribahasa, anekdote, dan meteri ilustratif yang lain) dalam bahasa latin, serta prosedur-prosedur yang harus diikuti dalam menghafal.
Tujuan imitasi dalam masa ini dihubungkan dalam bidang yang lebih luas. Humanisme dalam arti yang bulat merupakan renaissance dari kesustraan klasik dan pikiran-pikiran klasik. Karya yang dilupakan pada masa lalu ditemukan kembali, pelajaran bahasa latin dan Yunani mulai dipelajari kembali secara sungguh –sungguh. Sastra humaniora, yaitu sanjak-sanak klasik, filsuf, ahli sejarah, ahli pidato, yang berbicara tentang mengenai hidup dan nilai kemanusiaan, dipelajari dengan semangat yang tak terbatas.
Pada akhir abad XV sseorang humanis Belanda bernama Rodolphus Agricola mengingatkan bahwa penulis harus mengembangkan subjek pertalian dengan genus, species, sebab, akibat, persamaan, dan pertentangan. Yang kemudian gagasan ini populer dengan nama ramisme pada abad XVI.

G.     Kemunduran Retorika
Aliran ramisme membuat keruntuhannya sendiri, dan sekaligus keruntuhan bagi seni retorika. Retorika dalam bentuknya yang asli seperti pada zaman klasik tidak dipercaya  lagi, dan retorika lebih mengikuti selera kontemporer. Pada tahun 1990 muncullal aliran positivisme yang menarik perhatian orang mengenai pentingya mempelajari cara-cara mempergunakan bahasa dengan baik dan efektif.


H.     Retorika Modern
Suatu retorika akan bertolak dari beberapa prinsip. Pertama-tama prinsip dasar retorika atau prinsip-prinsip dasar komposisi, yaitu:
1.      Penguasan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa yang dikuasainya. Semakin besar jumlah kosakata yang dikuasai secara aktif, semakin mampu memilih kata-kata yang tepat sesuai untuk menyampaikan pikiran.
2.      Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan yang memungkinkan penulis mempergunakan macam-macam bentuk kata dengan nuansa dan konotasi yang berbeda-beda.
3.      Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa, dan mampu menciptakan gaya yang hidupdan baru untuk lebih menarik perhatian pembaca dan lebih memudahkan penyampaian pikiran penulis.
4.      Memiliki kemampuan penalaran yang baik, sehingga pikiran penulis dapat disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan jelas.
5.      Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan komposisi tertulis, sehingga mudah dibaca dan dipahami, disamping bentuknya dapat menarik pembaca. Ketentuan teknis disini dimeksudkan dengan: masalah pengetikan atau percetakan, cara penyusunan bibliografi, cara mengutip dan sebagainya.
Prinsip (1),(2), dan (3) dapatlah disamakan degan bagian ketiga dari seni retorika klasik yaitu menjalinnya dalam kata-kata atau style. Sedangkan, masalah atau prinsip yang keempat dan kelima dapat disamakan dengan kedua seni retorika yaitu menyusun pidato. Sebaliknya dalam komposisi ilmiah dalam retorika modern seorang penulis selalu harus mengumpulkan dan mengevaluasi data-data sebelum memulai menyusun karangan tersebut.
I.                    Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna.
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna konotatif atau sudah menyimang jauh dari makna denotatifnya, makna acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan di sini.
Gaya bahasa berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope figure atau of speech. Terlepas dari kedua istiah itu dengan pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluative atau stecara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) kontruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istiah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau suatu efak bermacam-macam fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimuasi asosiasi, menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.
Gaya bahasa yang disebut trope atau figure of speech  dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok, yaitu:
a)      Gaya bahasa retoris, yakni gaya bahasa yang semata-mata menyimpang dari konstruksi biasanya untuk mencapai efek tertentu.
b)      Gaya bahasa kiasan, yakni gaya bahasa yang menyimpang lebih jauh dari makna.

A.    Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris ada berbagai macam, namun yang dibahas dimakalah ini hanya sebagian dari macam-macam gaya bahasa retoris, yaitu:
a)      Aliterasi
Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi dan prosa, untuk perhiasan atau untuk penekanan. Misalnya:
       Takut titik tumpah.
       Keras-keras kerak kena air lembut juga.
b)      Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal yang sama.Biasanya dipergunakan dalam puisi dan prosa, untuk memperoleh efek penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya:
       Ini muka penuh luka siapa punya.
       Kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu.
c)      Anastrof 
Anastrof atau inversi adalah gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan susunan kata uamh biasa dalam kalimat.
       Pergiah ia meninggalkan kami, keheranan kami melhat perangainya.
Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam bunyi-bunyian      melalui gerbang yang dihiasi bunga dan panji akbar.
d)     Apofasis aau Preterisio
Apofasis aau Preterisio adaah gaya bahasa dimana penulis atau pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tamapknya menyangkal. Berpura-pura membiarkan sesuatu berlalu, tetapi ia menekankan hal itu. Misalnya:
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah mengelapkan ratusan uang Negara.
e)      Apostrof
Apostrof adalah gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya digunakan oleh orator klasik. Sang orator tiba-tiba mengarahkan pembicarannya kepada sesuatu yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara kepada hadirin. Misalnya:
       Hai kamu semua yang telah menumpahkan darahmu untuk tanah air tercinta ia ini berilah agar kami dapat mengenyam keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.
f)       Asindeton
Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, dan klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, tetapi dipisahkan dengan tanda koma. Misalnya:
       Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.












BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
         Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.      Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada suatu teknik  pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik.
2.      Metode retorika masih dipertahankan pada zaman-zaman berikutnya.
3.      Retorika modern yang bertolak dari beberapa macam prinsip, diantaranya:
a.      Penguasaan secara aktif sejumlah kosa kata bahasa yang digunakan.
b.      Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan.
c.       Mengenal dan menguasai bemacam-macam gaya bahasa.
d.      Memiliki kemampuan penalaran yang baik.
e.      Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan komposisi tertulis.
4.      Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu suau penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (frasa, klausa, kalimat), dan (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain.
5.      Macam-macam gaya bahasa retoris diantaranya:
a.      Aliterasi
b.      Asonansi
c.       Anastrof
d.      Apofasis atau Pretesio
e.      Apostrof

SARAN
          Bagi seluruh mahasiswa semestinya kita menyadari akan kepentingan retorika dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna, guna mengetahui suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan sehingga tersusun dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA

Keraf, Gorys. (2000). Diksi dan gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar