RETORIKA BAHASA
Makalah ini disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Komposisi
Bahasa Indonesia
Dosen Pembimbing : Dr. Darsita Suparno, M.Hum
Disusun Oleh :
Fib Bawan Arif Topan (1113024000021)
M. Alfiansyah (1113024000001)
Musdalifah (1113024000025)
Program Studi Tarjamah
Fakultas Adab dan Humaniora
Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Retorika merupakan peranan penting dalam kehidupan, karena retorika
merupakan suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada
suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik. Retorika perlu dipelajari karena
retorika merupakan pengetahuan mengenai bahasa dengan baik dan pengetahuan
mengenai obyek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa yang baik. Oleh
karena itu, retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin menggunakan bahasa
dengan cara sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu yang diinginkan.
B.
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan pengertian retorika?
b.
Bagaimana perkembangan sejarah retorika?
c.
Apa saja metode retorika?
d.
Apa yang dimaksud dengan gaya bahasa langsung tidaknya
makna?
e.
Apa saja macam-macam gaya bahasa retoris?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan
penulis menulis makalah ini yakni untuk menjelaskan kepada pembaca khususnya
mahasiswa mengenai retorika. Dan tak hanya itu penulis makalah ini dengan
tujuan untuk menuntaskan tugas demi meningkatkan nilai tugas perkuliahan bagi
penulis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Retorika
Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional diberikan pada
suatu teknik pemakaian bahasa sebagai
seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun dengan baik. Jadi
ada dua aspek yang perlu diketahui seseorang dalam retorika, yaitu pengetahuan
mengenai bahasa dan penggunaan bahasa dengan baik, kedua pengetahuan mengenai
obyek tertentu yang akan disampaikan dengan bahasa tadi.
Oleh karena itu, retorika harus dipelajari oleh mereka yang ingin
menggunakan bahasa dengan cara yang sebaik-baiknya untuk tujuan tertentu tadi.
Timbullah pusat-pusat pendidikan yang berusaha mengembangkan prinsip-prinsip
retorika, disamping usaha untuk mengajarkan dan mempraktekkan prinsip-prinsip
tadi.
Studi mengenai retorika inilah yang akhirnya memengaruhi perkembangan
eropa dari zaman kuno hingga abad XVII Masehi. Sesedag abad XVII, retorika
tidak dianggap pentinga lagi. Pada abad XX, retorika kembali mengambil tempa
diantara bidang-bidang lainnya, sebagai suatu cara untuk menyajikan berbagai
macam bidang pengetahuan dalam bahasa yang baik dan efektif.
Seama 25 abad perkembangan retorika, yaitu sejak diperkenalkan pada abad
5 sebelum Masehi sampai sekarang, pengertian retorika itu juga mengalami
perkembangan. Retorika, dalam pengertian dewasa ini boleh dikatakan mencakup
semua pengertian yang telah ada, yaitu:
a)
prinsip-prinsip mengenai komposisi pidato yang
persuasif dan efektif maupun
keterampilan yang harus dimiliki seorang orator (ahli pidato);
b)
Prinsip-prinsip mengenai prosa pada umumnya baik yang
dimaksudkan untuk penyajian lisan maupun
tertulis, bersifat fiktif atau yang bersifat ilmiah;
c)
Kumpulan ajaran teoritis mengenai seni komposisi
verbal baik prosa maupun puisi serta upaya yang digunakan dalam kedua jenis
komposisi verbal;
Retorika berusaha mempengaruhi sehingga menggunakan unsur-unsur dalam
kaidah keefektifan dan keindahan gaya bahasa, misalnya ketepatan pengungkapan,
keefektifan struktur kalimat, penggunaan bahasa kiasan yang serasi, penampilan
yang sesuai situasi dan sebagainya.
Melihat perkembangan dan pergeseran tekanan dan makna retorika, maka
dapat dikatakan retorika adalah suatu teknik pemakaian bahasa sebagai seni,
baik lisan maupun tertulis, yang didasarkan pada pengetahuan yang tersusun
secara baik. Retorika mempunyai tujuan menjelaskan kaidah yang menjadi landasan
dari tulisan prosa atau wacana lisan yang berbentuk pidato atau ceramah, untuk
memengaruhi sikap dan perasaan orang.
B.
Jaman Yunani
Retorika tumbuh dan berkembang di Yunani
pada abad V dan IV sebelum Masehi. Menurut pengertiannya yang asli, retorika adalah
telaah atau studi yang simpatik mengenai oratoria atau seni pidato.
Oratoria pertama kali diperkenalkan oleh
orang Yunani Sicillia. Namun tokoh pendirinya adalah Corax dari Sirakusa (500
SM) yang telah meletakkan sistematika oratori atas lima bagian, yaitu :
1.
Proem atau
Pengantar dari pidato yang akan disampaikan.
2.
Diegesis atau
Narratio: bagian yang mengandung uraian tentang pokok persoalan yang akan
dikemukakan.
3.
Agon atau
Argumen: bagian yang mengandung bukti-bukti mengenai pokok persoalan yang dikemukakan
itu.
4.
Parekbasis atau
Digressio: catatan pelengkap yang mengemukakan keterangan-keterangan lainnya
yang dianggap perlu untuk menjelaskan persoalan tadi.
5.
Peroratio:
bagian penutup pidato yang mengemukakan kesimpulan dan saran-saran.
Pada permulaan perkembangan retorika
timbul perbedaan-perbedaan pendapat mengenai hal yang menyangkut retorika.
Kontroversi tersebut menyangkut tiga hal, yaitu :
1.
Persoalan apakah
perlu pemakaian unsur stilistika dalam pidato-pidato. Ada tiga aliran,
yaitu yang menyetujui penggunaan unsur stilistika, yang menolak, dan ada yang
berada di luar kedua aliran pertama.
2.
Relasi antara
retorika dan moral, apakah perlu adanyaa moral dalam pidato. Georgiasn
berpendirian bahwa orator harus menyampaikan bukti-bukti baik mengenai keadilan
dan ketidakadilan dengan cara yang sama baik. Ia berpendapat bahwa retorika
alat yang mubazir(amoral). Pendirian ini dikecam oleh lawan-lawannya yang
beranggapan bahwa kemampuan oratoris memiliki suatu ciri moral yang esensi,
karena kebenaran dan keadilan memberi kemungkinan yang paling baik bagi
persuasi. Pandangan ini kemudian diperkuat oleh Aristoteles. Pandangan ini
memberi sumbangan besar dalam bidang teori, namun kenyataan yang dihadapi ialah
bahwa kemahiran seorang orator memberi perimbangan yang berlawanan dengan
persuasi, sehingga pengaruh Georgias tetap bertahan hingga jamam Renaissance.
3.
Masalah
pendidikan. Masalah kedua mempunyai kaitan dengan masalah ketiga ini. Para ahli
retorika yang menerima tanggung jawab moral dalam retorika, mengkritik
rekan-rekan mereka yang mencoba memperoleh keuntungan dalam profesi mereka,
terutama dalam pengadilan. Akhirnya mereka juga tidak mencapai kesepakatan
mengenai topik mana saya yang harus dimasukkan dalam pelajaran retorika di
pusat-pusat pendidikan.
Karya yang terkenal dari jaman Zunani
kuno ini adalah karya Aristoteles yang berjudul Rhetorica. Dalam karya ini
Aristoteles mengumumkan bahwa logika formal adalah dasar yang tepat bagi pidato
yang jujur dan efektif baik dalam dewan legislatif maupun di pengadilan. Dalam
buku ini ia membedakan tiga jenis pidato yang didasarkan pada pendengarnya,
yaitu:
1.
Pidato
yudisial(legal) atau forensik, yaitu pidato mengenai perkara di pengadilan,
mengenai apa yang telah terjadi dan tidak pernah terjadi. Pendengarnya adalah
hakim atau yuri dalam suatu mahkamah pengadilan.
2.
Pidato
deliberatif atau politik(suasoria), yaitu pidato yang berisi nasihat yang
disampaikan para penasihat mengenai hal-hal yang patut atau tidak patut
dilakukan. Para pendengarnya adalah anggota badan legislatif atau eksekutif
3.
Pidato
epideiktik atau demonstratif, yaitu pidato baik untuk pementasan, upacara-upacara
ibadah maupun bukan ibadah, biasanya berisi kecaman atau pujian mengenai
hal-hal yang terjadi sekarang.
C. Jaman Romawi (300 SM – 130 M)
Seorang Yunani Livius Andronicus (248 –
204 SM) yang dibawa ke Roma sebagai budak belian mengajar retorika kepada
tuannya, dan sejak itu seni pidato mulai menarik perharian orang-orang Romawi. Ahli-ahli
retorika pada jaman ini adalah Appius Cladius Caecus (300 SM), Cato de
Censoris, Ser. Sulpicius Galba, Caius Graechus, Marcus Antonius, dan Lucius
Licinius Crassus. Walaupun terdapat ahli-ahli retorika Romawi,
pengajar-pengajar yang formal adalah orang-orang Yunani.
Dua orang guru retorika Romawi yang
terbaik dan terkenal adalah Ciceero dan Quintilianus. Keduanya dididik menurut
model Yunani. Cicero menghasilkan tidak kurang dari tiga karya untuk menunjang
teorinya, yaitu: De Oratore, Brutus, dan Orator. M. Tullius Cicero yang hidup antara tahun 106
– 43 sebelum Masehi, mengajarkan seni pidato menurut model Yunani. Dalam bukunya
De Oratore dikemukakan prinsip-prinsip orataori yang dibagi atas tiga bagian,
yaitu:
1.
Studi yang
diperlukan seorang orator
2.
Penggarapan
topik pidato
3.
Bentuk dan
penyajian sebuah pidato
Karya terakhir
yang terkenal pada jaman ini adalah
Institutio Oratio karya M. Fabius Quintilianius (c. 95 AD) yang masih bertahan mutunya. Quintilianus berusaha
keras untuk mengubah selera jaman itu, yang sudah beralih ke langgam Asia,
karena perhatian yang khusus dan latihan yang terus-menerus dalam pusat-pusat
pendidikan mengenai subyek khayalan – suasoriae(pidato usul, persuasi), dan
controversiae(pidato perdebatan). Dialogus de Oratoribus yang dianggap ditulis
oleh Taticus adalah protes yang lain mengenai mode-mode baru tersebut.
D. Metode Retorika Klasik
Banyak
hal retorika klasik yang masih dipertahankan pada zaman-zaman berikutnya, maka
ada baiknya dibuat suatu
rangkuman mengenai metode tersebut.
·
Masalah dalam Retorika
Seni retorika dibagi atas lima bagian:
1.
Inventio dan Heurisis
Penemuan atau penelitian materi-materi dalam contoh
argumen-argumen yang harus dicari melalui rasio, moral dan aveksi.
2.
Dispositio atau Taksis
Penyusunan atau pengurutsn materi dalam pidato.
3.
Lexis
Pengungkapan atau penyajian gagasan dalam bahasa yang
sesuai.
4.
Memoria
Menghafalkan pidato yaitu latihan untuk mengingat
gagasan dalam pidato.
5.
Hypokrisis
Menyajikan pidato secara efektif baik secara vokal
maupun gestur.
·
Masalah Pidato
Pidato tersusun atas lima bagian yang dikemukakan
oleh:
1.
Proem, bagian pembukaan. Yaitu harus jelas, dan
singkat.
2.
Naratio, pernyataan mengenai kasus yang dibicarakan
mengandung pernyataan
mengenai fakta-fakta awal yang jelas terpercaya, singkat dan menyenangkan.
3.
Argumen, menyajikan fakta atau bukti untuk membuktikan
masalah atau kasus yang dibicarakan.
4.
Refutatio, bagian yang menolak fakta yang berlawanan.
Pembicara menunjukkan bahwa keberatan-keberatan yang ada bersifat absurd,
palsu, atau tidak konsisten.
5.
Epilogos, sebuah kesimpulan atau suatu rangkuman dari
apa yang telah dikemukakan dengan suatu emosional pada pendengar.
·
Masalah Pendidikan
Metode-metode yang dipakai dalam retorika
1.
Imitasi, cara untuk melatih membawakan pidato dengan
meniru cara
yang digunakan oleh orator klasik.
2.
Deklamasi, cara penyampaian pidato yang dipergunakan
dalam pelatihan akademis dan tidak bersangkutpaut kehidupan nyata.
3.
Dasar latihan, untuk mengadakan deklamasi dengan baik
seorang orator harus mengajukan 3 pertanyaan: (1) Apa yang terjadi?, (2) Apa
itu?, (3)Apakah hal itu baik atau buruk?
Contoh: seorang murid mengambil kasus pembunuhan
seorang tirab sebagai sebagai deklamasinya maka ia harus menemukan jawaban atas
tiga pertanyaannya
tersebut, yaitu:
(1)
Apakah peristiwa pembunuhan itu benar-benar terjadi ?
(2)
Bagaimana harus membatasi pengertian peristiwa
pembunuhan tersebut?
(3)
Apakah pembunuhan itu harus diberi penghargaan atau dituntut?
Dari sini seorang orator tidak perlu menjawab
pertanyaan melalui penelitian fakta dalam suatu topik khayalan, namun seorang orator harus
mampu menciptakan hubungan yang masuk akal.
E.
Abad Pertengahan
(V - XV)
Retorika pada abad awal pertengahan digolongkan dalam
tujuh kesenian liberal. Dari ketujuh bidang tersebut retorika bersama
tatabahasa dan logika (dialektika) membentuk satu trivium(tiga serangkai).
Mula-mula retorika memegang peranan penting dalam trivium tadi, namun dalam , 700
tahun berikutnya tatabahasa dan logika menjadi lebih penting , sehingga sebelum
terbentuknya universitas- universitas, logika mengatasi retorika dalam bidang
akademis.
Dalam Abad Pertengahan,
bagian kedua dari lima langkah pidato (yaitu dispositio) dibagi atas
enam bagian:
1.
Exordium, yaitu
sebuah pembukaan yang jelas, sopan, tetapi singkat.
2.
Narratio, yaitu
sebuah pernyataan dari fakta awal yang jelas, dipercaya, singkat, dan
menyenangkan.
3.
Propotitio,
yaitu penyajian kasus. Jika yang disajikan itu berbentuk isyu, maka disebut
partitio.
4.
Confirmatio,
yaitu penyajian argumen
5.
Refutatio, yaitu
penolakan atas keberatan-keberatan, bahwa keberatan-keberatan tersebut bersifat
absurd, palsu, atau tidak konsisten.
6.
Peroratio, yaitu
ringkasan atau rangkuman dengan suatu appeal emosional.
Pada
akhir abad pertengahan, unsur-unsur bahasa kiasan diterima sebagai hiasan, dan
tumbuhlah anggapan bahwa semakin banyak bahasa kiasan dipakai, semakin baik
pula style-nya, sehingga timbullah paham baru yang disebut mannerisme,
yaitu paham yang sangat terpaut pada style yang aneh, serta mengandalkan akhir
kata yang ritmis dan khusus, dan percaya pada etimologi yang lebih memperkaya
kata-kata individual, walaupun sering bersifat fantastis.
F.
Jaman
Renaissance (XV - XVIII)
Kekaburan yang ditimbulkan oleh tulisan-tulisan
mannerisme menimbulkan reaksi yang keras. Reaksi itu lahir dalam wujud
“kembali ke retorika klasik” yang bersifat imitatif. Kelahiran kembali ini
ditandai pula dengan kelahiran retorika humanis. Retorika humanis menghasilkan
pula kamus, buku pegangan mengenai ungkapan, dan eksempla. (adages=
peribahasa, anekdote, dan meteri ilustratif yang lain) dalam bahasa latin,
serta prosedur-prosedur yang harus diikuti dalam menghafal.
Tujuan imitasi dalam masa ini
dihubungkan dalam bidang yang lebih luas. Humanisme dalam arti yang bulat
merupakan renaissance dari kesustraan klasik dan pikiran-pikiran klasik. Karya
yang dilupakan pada masa lalu ditemukan kembali, pelajaran bahasa latin dan
Yunani mulai dipelajari kembali secara sungguh –sungguh. Sastra humaniora,
yaitu sanjak-sanak klasik, filsuf, ahli sejarah, ahli pidato, yang berbicara
tentang mengenai hidup dan nilai kemanusiaan, dipelajari dengan semangat yang
tak terbatas.
Pada akhir abad XV sseorang humanis
Belanda bernama Rodolphus Agricola mengingatkan bahwa penulis harus
mengembangkan subjek pertalian dengan genus, species, sebab, akibat, persamaan,
dan pertentangan. Yang kemudian gagasan ini populer dengan nama ramisme pada
abad XVI.
G. Kemunduran Retorika
Aliran ramisme membuat keruntuhannya
sendiri, dan sekaligus keruntuhan bagi seni retorika. Retorika dalam bentuknya
yang asli seperti pada zaman klasik tidak dipercaya lagi, dan retorika lebih mengikuti selera
kontemporer. Pada tahun 1990 muncullal aliran positivisme yang menarik
perhatian orang mengenai pentingya mempelajari cara-cara mempergunakan bahasa
dengan baik dan efektif.
H.
Retorika Modern
Suatu retorika akan bertolak dari
beberapa prinsip. Pertama-tama prinsip dasar retorika atau prinsip-prinsip
dasar komposisi, yaitu:
1.
Penguasan secara aktif sejumlah besar kosakata bahasa
yang dikuasainya. Semakin besar jumlah kosakata yang dikuasai secara aktif,
semakin mampu memilih kata-kata yang tepat sesuai untuk menyampaikan pikiran.
2.
Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan
yang memungkinkan penulis mempergunakan macam-macam bentuk kata dengan nuansa
dan konotasi yang berbeda-beda.
3.
Mengenal dan menguasai bermacam-macam gaya bahasa, dan
mampu menciptakan gaya yang hidupdan baru untuk lebih menarik perhatian pembaca
dan lebih memudahkan penyampaian pikiran penulis.
4.
Memiliki kemampuan penalaran yang baik, sehingga
pikiran penulis dapat disajikan dalam suatu urutan yang teratur dan jelas.
5.
Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan
komposisi tertulis, sehingga mudah dibaca dan dipahami, disamping bentuknya
dapat menarik pembaca. Ketentuan teknis disini dimeksudkan dengan: masalah
pengetikan atau percetakan, cara penyusunan bibliografi, cara mengutip dan
sebagainya.
Prinsip (1),(2), dan (3) dapatlah disamakan degan bagian ketiga dari seni
retorika klasik yaitu menjalinnya dalam kata-kata atau style. Sedangkan,
masalah atau prinsip yang keempat dan kelima dapat disamakan dengan kedua seni
retorika yaitu menyusun pidato. Sebaliknya dalam komposisi ilmiah dalam
retorika modern seorang penulis selalu harus mengumpulkan dan mengevaluasi
data-data sebelum memulai menyusun karangan tersebut.
I.
Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung Tidaknya Makna.
Gaya bahasa
berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna, yaitu acuan yang dipakai
masih mempertahankan makna denotatifnya atau sudah ada penyimpangan. Bila acuan
yang digunakan itu masih mempertahankan makna dasar, maka bahasa itu masih
bersifat polos. Tetapi bila sudah ada perubahan makna, entah berupa makna
konotatif atau sudah menyimang jauh dari makna denotatifnya, makna acuan itu
dianggap sudah memiliki gaya sebagai yang dimaksudkan di sini.
Gaya bahasa
berdasarkan ketidaklangsungan makna ini biasanya disebut sebagai trope
figure atau of speech. Terlepas dari kedua istiah itu dengan
pengertian yang sama, yaitu suatu penyimpangan bahasa secara evaluative atau
stecara emotif dari bahasa biasa, entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata,
(3) kontruksi (kalimat, klausa, frasa), atau (4) aplikasi sebuah istiah, untuk
memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, atau suatu efak bermacam-macam
fungsi: menjelaskan, memperkuat, menghidupkan obyek mati, menstimuasi asosiasi,
menimbulkan gelak ketawa, atau untuk hiasan.
Gaya bahasa
yang disebut trope atau figure of speech dalam uraian ini dibagi atas dua kelompok,
yaitu:
a)
Gaya
bahasa retoris, yakni gaya bahasa yang semata-mata menyimpang dari konstruksi
biasanya untuk mencapai efek tertentu.
b)
Gaya
bahasa kiasan, yakni gaya bahasa yang menyimpang lebih jauh dari makna.
A.
Gaya Bahasa Retoris
Gaya bahasa retoris ada berbagai macam, namun yang dibahas
dimakalah ini hanya sebagian dari macam-macam gaya bahasa retoris, yaitu:
a)
Aliterasi
Aliterasi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi dan prosa, untuk perhiasan atau untuk
penekanan. Misalnya:
Takut titik tumpah.
Keras-keras kerak kena
air lembut juga.
b)
Asonansi
Asonansi adalah gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal
yang sama.Biasanya dipergunakan dalam puisi dan prosa, untuk memperoleh efek
penekanan atau sekedar keindahan. Misalnya:
Ini muka penuh luka
siapa punya.
Kura-kura dalam perahu,
pura-pura tidak tahu.
c)
Anastrof
Anastrof atau inversi adalah gaya retoris yang diperoleh dengan
pembalikan susunan kata uamh biasa dalam kalimat.
Pergiah ia meninggalkan kami,
keheranan kami melhat perangainya.
Bersorak-sorak orang di tepi jalan memukul bermacam-macam
bunyi-bunyian melalui gerbang yang
dihiasi bunga dan panji akbar.
d)
Apofasis
aau Preterisio
Apofasis aau Preterisio adaah gaya bahasa dimana penulis atau
pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tamapknya menyangkal. Berpura-pura
membiarkan sesuatu berlalu, tetapi ia menekankan hal itu. Misalnya:
Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah mengelapkan
ratusan uang Negara.
e)
Apostrof
Apostrof adalah gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari
para hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Cara ini biasanya digunakan oleh
orator klasik. Sang orator tiba-tiba mengarahkan pembicarannya kepada sesuatu
yang tidak hadir: kepada mereka yang sudah meninggal, atau kepada barang atau
obyek khayalan atau sesuatu yang abstrak, sehingga tampaknya ia tidak berbicara
kepada hadirin. Misalnya:
Hai kamu semua yang telah menumpahkan
darahmu untuk tanah air tercinta ia ini berilah agar kami dapat mengenyam
keadilan dan kemerdekaan seperti yang pernah kamu perjuangkan.
f)
Asindeton
Asindeton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat
dan mampat di mana beberapa kata, frasa, dan klausa yang sederajat tidak
dihubungkan dengan kata sambung, tetapi dipisahkan dengan tanda koma. Misalnya:
Dan kesesakan, kepedihan, kesakitan
seribu derita detik-detik penghabisan orang melepaskan nyawa.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat
disimpulkan bahwa:
1.
Retorika adalah suatu istilah yang secara tradisional
diberikan pada suatu teknik pemakaian
bahasa sebagai seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan yang tersusun
dengan baik.
2.
Metode retorika masih dipertahankan pada zaman-zaman
berikutnya.
3.
Retorika modern yang bertolak dari beberapa macam
prinsip, diantaranya:
a.
Penguasaan secara aktif sejumlah kosa kata bahasa yang
digunakan.
b.
Penguasaan secara aktif kaidah-kaidah ketatabahasaan.
c.
Mengenal dan menguasai bemacam-macam gaya bahasa.
d.
Memiliki kemampuan penalaran yang baik.
e.
Mengenal ketentuan-ketentuan teknis penyusunan
komposisi tertulis.
4.
Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna yaitu
suau penyimpangan bahasa secara evaluatif atau secara emotif dari bahasa biasa,
entah dalam (1) ejaan, (2) pembentukan kata, (3) konstruksi (frasa, klausa,
kalimat), dan (4) aplikasi sebuah istilah, untuk memperoleh kejelasan,
penekanan, hiasan, humor, atau sesuatu efek yang lain.
5.
Macam-macam gaya bahasa retoris diantaranya:
a.
Aliterasi
b.
Asonansi
c.
Anastrof
d.
Apofasis atau Pretesio
e.
Apostrof
SARAN
Bagi seluruh mahasiswa
semestinya kita menyadari akan kepentingan retorika dan gaya bahasa berdasarkan
langsung tidaknya makna, guna mengetahui suatu teknik pemakaian bahasa sebagai
seni, yang didasarkan pada suatu pengetahuan sehingga tersusun dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Keraf, Gorys. (2000). Diksi dan gaya
bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar