KATA
PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, kami ucapkan
seiring dengan rahmat yang Allah limpahkan kepada kami, sehingga kami berkesempatan menyusun makalah
riset ini yang berjudul ”Gaya Bahasa Kiasan Personifikasi dan Epitet
Dalam Puisi”. Sholawat
serta salam, kami haturkan kepada baginda Nabi Muhammad Saw. yang menjadi
panutan kita semua. Sang raja sastrawan dari seluruh penjuru bumi ini. Dengan
kalamnya yang indah dan mempesona mampu mengantarkan kita pada zaman penuh
peradaban.
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas salah satu mata kuliah, “Bahasa Indonesia” dalam makalah ini akan dibahas mengenai dua jenis gaya bahasa kiasan,
yakni gaya bahasa personifikasi dan gaya bahasa epitet. Dengan tuntasnya makalah hasil riset ini saya penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing, Dr. Darsita Suparno, M. Hum yang telah membekali penulis dengan berbagai ilmu
pengetahuan.
Apabila
pembaca menemukan kekurangan ataupun kesalahan dari karya penulis yang sedang
dalam proses dan ranah pembelajaran, kami mohon perhatian pembaca agar
mengkritik dan memberikan masukan sehingga makalah ini menjadi sempurna.
Saya ucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada pembaca yang
sudi membaca karya penulis ini. Saya berharap semoga dengan tulisan ini Allah memberikan
keberkahan yang melimpah sehingga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan
terutama bagi penulis sendiri.
Ciputat, 6 Juni 2014
ABSTRAK
Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis gaya bahasa yang memprioritaskan gaya bahasa
kiasan personifikasi dan epitet. Dalam penelitian ini puisi lebih berpengaruh
besar dalam riset ini. Hal ini dikarenakan banyak yang bisa kita aplikasikan
dalam pembuatan contoh. Hasil penelitian ini telah dibuktikan bahwa adanya
persamaan gaya bahasa personifikasi dan epitet walaupun ada berbagai perbedaan
dalam penggunaan katanya.
Gaya bahasa
dikenal dalam retorika dengan istilah style, yaitu semacam alat untuk menulis
pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas
tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan dalam keahlian menulis indah
maka style lalu berubah menjdi kemampuan dan keahlian untuk menulis, atau
mempergunakan kata-kata secara indah.
Karena
perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari
diksi, atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok atau tidaknya, pemakaian kata
frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Sebab itu
persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan : pilihan kata secara
individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula semua kalimat
secara keseluruhan. Malahan ada yang tersirat dibalik sebuah wacana termasuk
pula persoalan gaya bahasa, jadi jangkauan gaya bahasa sangatlah luas, tidak
hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung coral-corak tertentu,
seperti yang umum terdapat retorika-retorika klasik.
Gaya bahasa
juga sebagai salah satu cara mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan bahasa
yang indah dan personal. Para ahli telah menemukan 60 gaya bahasa dan
diklasifikan kedalam 4 kelompok. Keempat gaya bahasa tersebut adalah:
a.
Gaya bahasa
perbandingan
b.
Gaya bahasa
pertentangan
c.
Gaya bahasa
pertautan
d.
Gaya bahasa
perulangan
Pada analisis kali ini gaya bahasa
perbandingan yang diambil dari gaya bahasa kiasan yakni personifikasi dan
epitet yang dijelaskan dengan berbagai pemakaian gaya kiasan dalam bentuk
puisi. Hasil penelitian ini telah dibuktikan bahwa adanya persamaan gaya bahasa
personifikasi dan epitet walaupun ada berbagai perbedaan dalam penggunaan
katanya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Puisi sebagai
salah satu bentuk karya sastra yang merupakan
hasil kebudayaan yang berwujud tulisan. Puisi tersusun atas kata-kata di mana
kata adalah satuan arti yang menenentukan struktur formal linguistik karya
sastra. Di dalam susunan kata-kata puisi terkandung gagasan penyair. Untuk
menyampaikan gagasannya tersebut, penyair sering kali menggunakan bahasa khas
yang bermakna konotatif. Puisi merupakan bahasa yang khas, yaitu bahasa yang
berbeda dengan bahasa sehari-hari yang dianggap umum untuk menunjukkan
pemakaian bahasa yang khusus, sehingga dalam menafsirkan puisi juga harus
memakai konvensi sastra yakni bahasa yang bersifat konotatif. Puisi merupakan
ungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat, di mana
kata-katanya condong pada makna konotatif. Konotasi adalah kumpulan asosiasi- asosiasi
perasaan yang terkumpul dalam sebuah kata diperoleh dari sebuah setting yang di
lukiskan.
Puisi juga
dipandang sebagai karya seni yang puitis. Kepuitisan itu dapat dicapai dengan
bermacam-macam cara, misalnya dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait;
dengan bunyi: persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, dan
orkestrasi, dengan pemilihan kata (diksi), bahasa kiasan, sarana retorika,
unsur-unsur ketatabahasaan, gaya bahasa, dan sebagainya. Salah satu unsur
kepuitisan puisi adalah bahasa kiasan
(figurative language). Adanya
bahasa kiasan ini
menyebabkan puisi menjadi menarik
perhatian, menimbulkan kesegaran, lebih hidup, serta menimbulkan kejelasan
gambaran angan.
Dari berbagai
macam bahasa kiasan tersebut, penelitian ini lebih difokuskan pada bahasa
kiasan personifikasi dan epitet. Personifikasi adalah bahasa kiasan yang
mempersamakan benda dengan manusia,
benda mati digambarkan
seolah-olah hidup seperti manusia. Personifikasi berasal dari bahasa
latin persona yang berarti orang, pelaku, aktor, atau topeng yang dipakai dalam
drama, dan fic yang berarti membuat. Personifikasi ialah jenis majas yang
melekatkan sifat-sifat insani kepada barang yang tidak bernyawa dengan ide yang
abstrak. Epitet adalah suatu gaya bahasa berwujud semacam acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri seseorang atau suatu benda tertentu, sehingga namanya
dipakai untuk menyatakan sifat itu. Keterangan itu adalah suatu frasa
deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang atau suatu barang
atau bisa juga diartikan sebagai sebuah julukan. Sebagaimana jelasnya Epitet
atau Epitheh berasal dari kata bahasa Inggris yang artinnya julukan. Epitet
adalah istilah permainan kata yang dapat berupa deskripsi, aposisi, dekoratif,
sendirian, dll yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau sesuatu.
Julukan dapat digunakan diberbagai bidang kehidupan.
Berdasarkan
pengertian di atas, penelitian ini sangat tepat mengambil personifikasi dan
epitet sebagai fokus kajian karena objek penelitian ini adalah puisi. Dipandang
dari gaya bahasa, puisi merupakan susunan kata yang dapat merangkai kata indah
yang terungkap dari sang pembuat puisi tersebut. Penyair dalam menciptakan
karya sastra tidak berangkat dari kekosongan
budaya, namun banyak
faktor yang
melatar-belakanginya, termasuk di dalamnya, lingkungan tempat tinggal
dan lain sebgainya.
Karya sastra
lahir tidak berdasar kekosongan budaya. Artinya, latar belakang sosial, budaya,
politik, ekonomi atau lingkungan tempat sastrawan hidup di tengah-tengahnya
banyak mendasari dan mengilhami kehadiran sebuah karya sastra. Lingkungan
tempat tinggal yang merupakan salah satu faktor tersebut berpengaruh pada karya
yang dihasilkan oleh penyair.
Hal tersebut tampak
pada pemilihan kata yang digunakan, tema, serta penggambaran
dengan menggunakan anasir alam seperti gunung, tumbuhan, sungai, batu, angin,
hujan, petir serta benda-benda yang dihasilkan oleh manusia seperti gamelan,
senjata, dan benda-benda mati yang berada di lingkungan sekitar penyair. Penggunaan
anasir alam serta benda-benda mati dalam geguritan dapat menjadi indikator
penggunaan bahasa kias personifikasi dan epitet, mengingat personifikasi
berkaitan dengan benda-benda mati yang diinsankan dalam karya sastra. Namun,
pada dasarnya personifikasi dan epitet juga memilik perbedaan dalam penggunaan
kata, personifikasi lebih terfokus oada benda mati yang diinsankan, namun
epitet lebih terfokus kepada penggunaan kata benda mati sebagai julukan.
Penggunaan
personifikasi dalam karya sastra khususnya geguritan menjadi hal yang menarik
untuk diteliti. Personifikasi memiliki fungsi yang bermacam dalam geguritan,
yakni menghidupkan penggambaran, memperindah bunyi dan penuturan, serta membuat
penggambaran menjadi lebih konkret. Selain fungsi tersebut, personifikasi
dimungkinkan masih memiliki fungsi lain. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan dan fungsi personifikasi secara keseluruhan dalam karya
kumpulan geguritan seorang penyair.
Pada dasarnya
personifikasi dan epitet pemaknaannya dan dari segi definisinya saling
bersangkutan antara satu dan yang lainnya, ialah sebuah gaya bahasa yang
berkaitan dengan benda-benda mati yang diinsankan dalam karya sastra.
BAB II
KAJIAN TEORI
Kajian teori
ini diambil dari sebuah puisi karya anak remaja, yang akan di analisis dalam
segi bentuk personifikasi dan epitetnya, karna pada permasalahan ini saling
bersangkutan satu sama lain. Berikut adalah puisi-puisi yang akan dianalisis.
Berikut adalah contoh gaya bahasa personifikasi.
DUA CERITA
BERSAMA HUJAN
Oleh: Lelaki
Budiman
Malam ini
hujan kembali mengunjungiku, kunjungan yang kesekian puluh
Tak pasti
hujan mengunjungiku (benar-benar berkunjung dan bercakap denganku)
Terkadang ia
hanya lewat didepan halaman
Lalu pergi usai menyapa
bunga dan rerumputan
Sesekali hujan
menggodaku, mengetuk jendela kamarku
Tersenyum, dan berlalu
Lain waktu, hujan singgah
cukup lama (setelah cukup lama pula ia menunggu di depan pintu)
Kami lantas bercerita
apa saja, tentang cuaca ataupun cerita perjalanan dari satu kota ke kota
lainnya
Aku tak pernah bosan
mendengar ceritanya
Seperti ia yang tak
pernah bosan mendengar ceritaku.
Tentangmu
Seperti malam ini,
Kami asyik berbincang
hingga jam dua pagi
Kau tahu, aku tidak
menceritakan tentang bintang dan kupu-kupu biru
Sebelum pergi aku
menitipkan pesan untukmu
(kau akan tahu pesanku
saat ia mengunjungimu)
Apakah hujan
mengunjungimu malam ini?
Hujan bertandang
kembali, tepat 3 hari setelah kunjungan terakhirnya
Tiga hari sejak aku
menitipkan pesan untukmu
Entah malam ini hujan
begitu pendiam
Tak seperti biasanya
Sesekali bergumam, lebih
banyak diam, mendinginkan secangkir teh hitam yang kuseduhkan
Aku, entah mengapa kali
ini tak berani menanyakan apa-apa
Tak pula ada niat
sekedar menanyakan apakah pesanku sudah diterima olehmu
Malam ini kami hanya
saling menatap diri
Entah, apa yang hendak
diceritakan hujan malam ini
Sunyi.
Puisi diatas menceritakan tentang persahabatannya dengan
hujan. Tentu, puisi diatas merupakan simbol untuk membuatnya jadi lebih enak
dinikmati. Puisi milik Lelaki Budiman tersebut jika dilihat dari pemilihan
kata-katanya bermajas personifikasi.
Tak pasti
hujan mengunjungiku (benar-benar berkunjung dan bercakap denganku). Terkadang
ia hanya lewat didepan halaman. Lalu pergi usai menyapa bunga dan rerumputan.
Dari pilihan
kata contoh puisi bermajas personifikasi pengarang memilih hujan yang notabene
adalah benda mati. Namun, oleh pengarang seolah-olah hujan diibaratkan seperti
manusia. Bisa bergerak mendatangi seseorang, lalu menyapanya, minum teh,
menyampaikan salam, dan mengobrol panjang lebar.
Hal-hal
tersebut hanya bisa dilakukan oleh manusia. Namun, oleh Budiman hujan diberi
nyawa. Hampir seluruh lirik dalam puisi tersebut memiliki majas personifikasi.
Hal tersebut berkaitan dengan tokoh yang dibuat cerita lirik tersebut adalah
hujan.
Memilih ‘hujan’ daripada ‘sahabat’
atau nama manusia pada umumnya merupakan sesuatu yang unik. Pengarang ingin
menyampaikan sisi menarik dari sebuah hujan yang terkesan romantis namun
misterius. Hal tersebut terlihat dari kunjungan yang tidak dapat ditebak kapan.
Ada rasa canggung dalam diri ‘ aku’ jika hujan tidak berlaku seperti biasa.
Aku, entah
mengapa kali ini tak berani menanyakan apa-apa. Tak pula ada niat sekedar
menanyakan apakah pesanku sudah diterima olehmu. Malam ini kami hanya saling
menatap diri. Entah, apa yang hendak diceritakan hujan malam ini. Sunyi.
Berikut
adalah contoh dan penjelasan dari epitet. Dalam buku Gorys Keraf (1984) Diksi
dan Gaya Bahasa dijelaskan bahwa epitet (epiteta) semacam acuan yang menyatakan
suatu sifat atau ciri khusus dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu
adalah suatu frasa deskriptif yang menjelaskan atau menggantikan nama seseorang
atau suatu barang.[1]
Misalnya:
Lonceng pagi untuk ayam
jantan
Puteri malam untuk bulan
Raja Malam untuk singa,
dan sebagainya.
Epitet
berasal dari bahasa inggris yang artinya julukan. Epitet adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan seseorang atau sesuatu berdasarkan keistimewaan
atau kekurangannya yang dapat berupa deskripsi, aposisi, dekoratif, sindiran,
dll yang digunakan diberbagai bidang kehidupan[2].
Contoh epitet
dari bidang sastra dan sejarah:
·
Romeo dan
Juliet dijuluki sebagai pasangan cinta sejati. Dalam kisah cinta klasik mikik
William Shakespeare
·
Rhoma Irama
dikenal dengan julukan Raja Dangdut Indonesia
Contoh epitet
dalam agama:
·
Nabi Muhammad
SAW mendapat julukan sebagai Nabi akhir Zaman
·
Nabi Isa
mendapat sebagai Nabi Penyelamat
Contoh epitet
dalam bidang politik:
·
Soekarno
mendapat julukan sebagai Bapak Indonesia
·
Soeharto
mendapat julukan sebagai Bapak Pembangunan
BAB III
METODE
PENELITIAN
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian ini diperoleh
dari sumber data sekunder. Data pendukung yang sifatnya memperkuat hasil
analisis. Data sekunder diperoleh melalui penelitian :kepustakaan pada
sumber-sumber yang terkait dengan objek penelitian. Teknik pengumpulan data
yang dilakukan peneliti adalah:
1.
Website
Metode
penelitian dikaji dari sebuah analisis website dari situs Google, yang mana sumber
dan permasalahan serta contoh puisi yang diambil dari internet untuk dapat
dianalisis lebih luas lagi.
2.
Studi Pustaka
Teknik
pengumpulan data ini berasal dari tinjauan buku yang didapat dari perputakaan
utama UIN Jakarta.
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ada keterkaitan dalam gaya
bahasa kiasan personifikasi dan epitet. Hal ini dapat dilihat dari benda mati
yang diinsankan atau benda mati. Namun dalam penggunaannya ada perbedaan sesuai
teks, koteks dan konteksnya ialah dalam segi julukan dan pengibaratan terhadap
sesuatu.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Keras, Gorys,
Diksi dan Gaya Bahasa, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, April 1984,
halaman 141
[1] Keras, Gorys, Diksi
dan Gaya Bahasa, PT.Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, April 1984, halaman
141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar